Rabu, 19 Januari 2011

Dampak Demokrasi


Benarkah demokrasi melahirkan banyak pejabat menjadi penjahat ?

Demokrasi ternyata gagal menghasilkan pemimpin-pemimpin yang jujur, bersih, dan tahu malu”. Demikian kutipan dari editorial sebuah media harian nasional ( MI, 20/1/2011). Ini adalah sebuah ungkapan jujur tentang demokrasi. Sekalipun bukan hal baru, ungkapan tersebut mengingatkan kembali umat Islam tentang hakikat dan fakta dari sistem demokrasi yang diadopsi oleh negri ini (Buletin Dakwah Al-Islam Hizbut Tahrir Indonesia).

Hanya ilusi, mengharapkan keadilan dan kesejahteraan dari sistem ekonomi dan kebudayaan liberal-kapitalistik. Sistem ini hanya menjamin keadailan dan kesejahteraan sebagian orang. Biasanya hanya orang-orang yang ada dalam olighariki kekuasaan. Rakyat hanya dijadikan ‘sapi perah’ penguasa dan wakil rakyat dengan kebijakan-kebijakan yang memberatkan; pajak, pencabutan subsidi BBM, kenaikan tarif listerik, dan lain-lain. Solusi final problem ini hanya dengan menegakan sistem ekonomi Islam dan institusi Kilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah, yang menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan. Tapi kapan semua itu bisa terjadi ? menjadi sebuah harapan dan cita-cita dari seorang muslim sejati.

Dalam berbagai forum, Indonesia mendapat pujian sebagai Negara demokratis. Namun, apakah dengan setatus demokrasinya negri ini talah mampu melahirkan kepemimpinan yang amanah ? tidakkan. Apakah demokrasi biasa mewujudkan kesejahteraan dan keadilan dalam seluruh aspek kehidupan warga negaranya ? belumkan.!

Pasti selaku warga Negara yang baik merasa teriris miris kalau melihat fakta aktual sepanjang tahun 2010 tercatat 148 dari 244 kepala daerah menjadi tersangka korup ( mencopet kelas kakap ). Bahkan sebagian dari pemenang Pilkada 2010 bersetatus tersangka dan meringkuk di penjara. 
Jadi, omong-kosong kalau kita berharap bahwa sistem demokrasi bila melahirkan para pemimpin yang amanah, apalagi terkait kesejahteraan. Pasalnya, demokrasi hanya menjadi tempat bagi orang-orang dan kelompok oportunis untuk mentransaksikan kepentingan perut dan nafsunya semata.

Tahu tidak biaya demokrasi itu amat mahal ? Tapi, hasilnya Nol !
Selama tahun 2010, tercatat sebanyak 244 Pilkada dilangsungkan dengan menelan biaya lebih dari Rp 4,2 triliun. Ditambah lagi dengan pengulangan-pengulangan yang biayanya lebih besar dari itu. Penghamburan uang itu terjadi di tengah-tengah kondisi yang sangat memilukan; pada tahun 2010 tercatat lebih dari 31 juta (13%) dari 237 juta penduduk Indonesia dalam kondisi miskin luar biasa. Dalam hal ini, hasil Pilkada tidak pernah mengubah nasib rakyat. Yang berubah hanya para penguasa dan kroni-kroninya saja.

Pilkada yang tujuannya menyertakan rakyat secara langsung untuk menentukan pimpinannya sendiri di tingkat daerah faktanya juga talah melahirkan dampak negative. Masyarakat menjadi berkotak-kotak, bahkan menjadi lawan yang mengarah kepada tindakan kekerasan. 

Secara sederhana demokrasi bisa dikatakan sebagai akar dari masalah-masalah
Yang namanya politik saat ini diartikan sebagai proses interaksi pemerintah degan masyarakat untuk menentukan kebijakan publik demi kebaikan bersama. Sistem politik yang dianut Indonesia adalah Demokrsi. Dan itu kini telah menjelma menjadi sebuah paham, bahkan semacam ‘agama’ yang nyaris tanpa koreksi.


Gagasan dasar demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Intinya, kewenangan membuat hukum ada di tangan manusia. Demokrasi selalu  dianggap sebagai tatanan atau system politik yang paling ideal. Dalam sistem demokrasi, rakyat diasumsikan akan benar-benar berdaulat dan mendapatkan seluruh aspirasinya. Dari sana, melalui peroses politik yang demokrasi, lantas dibayangkan bakal tercipta sebuah kehidupan masyarakat yang ideal; adil, damai, tentram, dan sejahtera.

Bagaimana bisa diharap akan keadilan bila sistem demokrasi malah melahirkan banyak pejabat dan penguasa yang lebih pantas disebut penjahat. Mereka adalah para tersangka berbagai kasus tindak pidana (terutama korupsi). Ini karena banyak dari peroses politik berlangsung secara transaksional. Paragmatisme politik baik demi kekuasaan ataupun uang lebih banyak berperan lebih aktif. Dalam kondisi demikian, kepentingan rakyat dengan mudah terabaikan. Bagi penguasa, rakyat hanyalah alat untuk meraih kuasa. Akhirnya, bukan kedaulatan rakyat yang menjadi ruh dari sistem demokrasi, melainkan kedaulatan kapital dari para pemilik modal. Ini adalah kenyataan umum di Negara penganut demokrasi, tanpa kecuali termasuk AS dan Eropa sebagai kampiun demokrasi.

Oleh karena itu, pujian terhadap Indonesia yang diangap sebagai ‘jawara demokrasi’ dengan julukan “Indonesia’s Shining Muslim Democracy” (Demokrasi Muslim Bersinar di Indonesia). Tapi faktanya julukan itu tidak selaras dengan perbaikan kehidupan rakyat.

Tidak aneh bila banyak orang melihat demokrasi sesungguhnya adalah sistem yang bermasalah. Tokoh barat sendiri Winston Churchil, menyatakan, “Democracy is worst possible form of government” (demokrasi kemungkinan terburuk dari sebuah bentuk pemerinthan).

Saatnya Kembali ke Sistem Islam

Dasar politik yang diterapkan di Indonesia adalah sekularisme, paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Hukum bersumber dari akal dan hawa nafsu manusia melalui peroses demokrsi. Hukum dibuat oleh segelintir orang yang tidak lepas dari kepentingan, baik kepentingan uang ataupun kekuasaan. 

Selama sekularisme dan demokrasinya yang diterapkan selama itu pula yang terjadi adalah kerusakan dan keterpurukan. Hanya syariah Islam yang bisa menjamin keadilan karena ia berasal dari Dzat yang Maha Adil. Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendak. (hukum) siapakah yang lebih baik dari pada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (Qs Almaidah; 5 50).

1 komentar:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus